Sudaryanti

Yanti adalah nama panggilan. Bekerja sebagai guru MTs Negeri 2 Pontianak kelahiran 6 Juli 1973 di Kota Ketapang. Pendidikan terakhir S-2 Bahasa Indonesia. Ibu d...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kado Impian Nayra (Part 22)

Kado Impian Nayra (Part 22)

Tantangan menulis 60 hari (hari ke-35)

#tantanganGurusiana

Kado Impian Nayra (Part 22)

Angin pagi masih terasa sejuk di kulit. Sinar matahari mengintip dari sela-sela kerimbunan daun pohon mangga. Sepasang ayam jantan dan betina kompak mengais dan mamatuk cacing di halaman rumah. Sementara itu di beranda rumah, Mbah Ti dan Mbah Kung duduk menikmati segelas kopi dan spiring singkong rebus panas sambil sesekali menyapa tetangga yang lewat.

Sudah seminggu mereka berada di rumah Laras. Setiap pagi pula pasangan sepuh ini tak bosan-bosannya membagi cerita mereka di teras ini. Meskipun usianya sudah tak muda lagi tapi keduanya masih kelihatan segar. Selain ubah di kepala dan gigi yang sudah ompong, pasangan ini masih gesit bergerak dengan tubuh tidak membungkuk.

Tak lama berselang sebuah sepeda motor memasuki halaman rumah. Arya datang mengenakan kaos putih dan celana pendek abu-abu. Tanpa sungkan lelaki itu naik ke beranda dan menyapa kedua mantan mertuanya yang sedang duduk-duduk di sana.

“Assalalmmualaikum, lagi santai Mbah?”

“Waalaikum salam, santai sambil berjemur,” Mbah Ti yang menjawab

“Sepi nampaknya? Kemana Nayra?” tanya Arya celingukan. Matanya mencari-cari.

“Nayra ikut mamanya ke pasar. Tak mau tinggal sama mbahnya. Mereka pergi bertiga dengan Rika. Mau beli boneka katanya. Entahlah apakah sudah ada toko mainan yang buka sepagi ini,” tutur Mbah Ti mengenang tingkah cucunya. “Kau belum pulang Ke Ketapang lagi?” sambungnya.

“Belum Mbah, masih ngurus duit mobil, tapi saya sudah menelpon istri. Devi mengerti. Dia memang wanita yang sangaaat baik. Selalu pengertian dan tidak banyak menuntut,” celoteh Arya. Ia mulai duduk menyandar pada pilar beranda.

Mbah Kung batuk-batuk kecil lalu menyeruput kopinya. Lelaki tua itu berdiri lalu turun ke halaman. Sementara Mbah Ti memalingkan pandangan ke ayam-ayam yang masih betah mengais tanah di bawah pohon mangga.

“Saya sungguh beruntung bisa mendapatkan Devi. Dia berasal dari keluarga yang cukup berada. Orangnya baik, lembut dan penyabar. Begitu mengenalnya saya langsung merasa nyaman dan segera melamarnya.”

“Anak orang kaya pastilah terkenal ya di kampungnya,” gumam Mbah Ti sambil mengambil potongan kecil singkong dan menyuapnya.

“Benar, Mbah. Lumayan terkenal. Abangnya ada yang jadi dosen di Pontianak ini, juga ada yang jadi pejabat di Ketapang.”

“Pastilah istrimu itu jelek wajah atau perangainya,” Mbah Ti masih bergumam menanggapi celteh Arya.

“Dia cantik Mbah, Cuma ya memang dia sudah berumur waktu kami menikah,” bela Arya.

“Maksudmu istrimu perawan tua kan?”

“Mmm, iya. Tapi dia orang baik,”

“Tentu saja kau bilang baik karena itu istrimu. Tapi aku yakin istrimu tidak sebaik Laras anakku. Kau memang tidak sopan Arya. Lidahmu sungguh menampakkan kebodohanmu. Aku tahu Laras memang bukan manusia sempurna. Anakku itu sangat pendendam. Apapun yang dikatakan orang terhadapnya akan diingat hingga dia mati. Mungkin kekurangannya itu adalah kelebihannya. Dengan dendam itu, anakku menjadi perempuan yang kuat dan hebat. Ku katakana hebat karena dia tetap bisa menerima kau tetap ke sini. Untuk sebagian orang mungkin tak bisa lagi menerima mantan suaminya yang kurang ajar macam kamu. Datang ke sini tanpa malu menceritakan istrimu. Pantas saja Laras menceraikanmu.”

Mbah Ti menatap Arya. Tampak kemarahan dari sorot mata itu. Arya menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Ia menyesal telah membuat orang tua di hadapannya terlihat gusar. Selama dua puluh dua tahun lebih menjadi menantu, belum pernah ia melihat sorot mata Mbah Ti seperti itu kepadanya.

“Cerita saya tidak ada hubungannya dengan Laras, Mbah. Saya hanya menceritakan istri saya yang sekarang. Tentang bagaimana dia menerima saya apa adanya,” kelit Arya membela diri.

“Dibalik ceritamu itu kau pikir aku tak tahu maksudmu. Aku sudah tua. Sudah banyak pengalaman hidup yang ku temui. Kau ingin membandingkan Laras dengan istrimu? Lelaki bodoh seperti apa kau ini? Kau bilang dia cantik, baik? katamu dia anak orang kaya, abang dosen dan juga pejabat. Pikirkan dengan otakmu itu Arya, mana ada perempuan cantik yang baik tidak laku kawin apalagi jika benar ia anak orang kaya dan berasal dari keluarga terpandang. Mengapa relasi abang-abangnya tidak ada yang tertarik memperistrinya? Apakah selama ini ia bersembunyai di dalam gua? Menerimamu apa adanya itu maksudmu apa? Kau datang ke dia bawa mobil berpenampilan bagus tentu saja dia menerimamu. Coba saja kau datang dengan tubuh kurus kerempeng, sepeda motor butut seperti dulu, aku tak yakin dia mau kau jadikan istri. Lalu kata-kata tidak banyak menuntut itu apalagi maksudmu? Memangnya Laras menuntut apa kepadamu? Bukankah dia hanya menerima lemari plasitik darimu di awal pernikahan? Sudahlah Arya. Kau hanya mengarang cerita untuk membuat kami cemburu kan? Kami sudah lama mengenalmu. Kau memang seorang pembual yang baik.”

Mbah Ti kembali mengambil potongan singkong lalu mencelupnya ke dalam cangkir kopi. Ia melambai kepada suaminya yang masih berdiri di halaman. Mbah Kung berjalan menjauh. Mbah Ti paham sekali bahwa Mbah Kung malas mendengarkan cerita mantan menantunya. Sudah sejak kemarin pria tua itu uring-uringan karena Laras menolak usulnya untuk mengusir Arya. Ia takut Arya akan berbuat macam-macam kepada anak dan cucu kesayangannya bila dibiarkan bebas berkunjung.

Arya terdiam mendengar kata-kata Mbah Ti. Mantan ibu mertuanya itu memang selalu blak-blakan kalau bicara. Sifatnya ini menurun kepada Laras.

“Kapan pulang Mbah?” tanya Arya. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan. Bagaimanapun jiga ia tak ingin berdebat.

“Jangan mengalihkan pembicaan Arya. Aku belum selesai. Tadi kau pancing aku dengan ceritamu. Sebenarnya sudah lama aku menunggu saat ini. Kau tak kunjung datang ke rumah untuk menyerahkan Laras kepada kami; orang tuanya. Kau memang pengecut. Kau menceraikan Laras begitu saja seperti Laras tak lagi punya keluarga. Mestinya kau kembalikan anakku baik-baik seperti saat kau memintanya kepada kami untuk kau jadikan istri. Baru kemudian kau proses ke pengadilan. Dulu kau ke rumahku menggoda anak gadisku tiga kali seminggu. Sudah seperti minum obat saja. Untunglah tangga rumahku tak patah karena terlalu sering kau injakkan kakimu di sana. Lalu kini kau enak saja memuja perempuan lain di depan aku; mamaknya seolah anakku tak berharga. Anakku memberimu empat anak. Tak bisakah kau menghargai itu? Pantaslah anak-anakmu tak ada yang suka dengan perangaimu ini. Siapa yang kau harapkan percaya dengan bualanmu Arya? Nayra? Kalau dia sudah besar dan mengerti, maka dia pun akan membenci sikapmu ini.”

Arya semakin terpojok tak berdaya. Apapun yang akan ia katakana tak akan membuat Mbah Ti merasa senang lagi. Walaupun dulu ia pernah mendapat julukan menantu kesayangan, tapi semua itu sudah tak bisa menolongnya sekarang. Ia mengakui dalam hati kebenaran kata-kata Mbah Ti. Ia memang telah berlaku seperti seorang pengecut. Ia tidak menghadap kedua mantan mertuanya untuk menyerahkan Laras lalu pamit selayaknya lelaki baik-baik yang bertangung jawab. Padahal saat akan menikahi Laras, ia meminta dengan sopan lalu meminang wanita pujaannya setelah penantian yang panjang. Tiga kali seminggu datang walaupun kadang sikap Laras sangat dingin kepadanya. Ia terus berjuang. Bahkan rela dikejar-kejar anjing tetangga hingga menjadi olok-olokan Laras sekeluarga. Mengingat semua itu, wajarlah kalau Mbah Ti mengatakannya sebagai lelaki bodoh dan pengecut. Orang tua itu pasti sangat kecewa akan sikapnya selama ini.

“Laras akan segera menikah lagi, Mbah. Ia sudah melupakan saya,” ujar Arya mencoba menetralkan ketegangan yang dirasanya sekaligus sebagai pembelaan diri atas sikapnya tadi.

“Itu bagus. Aku memang berharap begitu. Laras harus menikah. Dia masih cantik dan muda. Untuk apalagi mengingatmu. Mudah-mudahan Laras mendapatkan lelaki yang lebih bertanggung jawab dan menyanyanginya dengan tulus. Bukan lelaki yang mau enaknya saja. Bermulut berbisa dan tak berperasaan. Laki-laki seperti itu memang cocok untuk wanita yang hidup di dalam goa supaya mudah dibodohi.”

“Saya merasa khawatir kalau Laras menikah lagi,” suara Arya terdengar seperti bergumam.

“Khawatir kenapa? Kau sudah menikah juga kan? Laras berhak menikah seperti kau. Dia berhak mengejar bahagianya. Jangan egois,” Mbah Ti menyambar kata-kata Arya.

“Khawatir akan Rafa dan Nayra. Kedua anak itu perempuan. Saya takut jika Bapak tirinya akan berbuat macam-macam terhadap anak-anak itu,” Arya terlihat seperti orang putus asa ketika mengatakan hal itu.

“Mengapa baru kau pikirkan sekarang? sungguh terlambat! Kau tak berpikir saat akan menikah lagi. Giliran Laras yang hendak menikah kau beralasan seperti itu. Semakin Nampak sifat pengecutmu. Bawalah anak-anakmu jika kau takut mereka terancam saat bersama Laras. Atau kau berniat membuat Laras menjadi babu penjaga anak-anakmu? Sementara itu kau dan istrimu enak-enakan berdua?”

Kata-kata Mbah Ti seperti pisau yang menyayat harga dirinya. Arya merasa terkuliti dengan kebenaran demi kebenaran yang diungkapkan sang mantan ibu mertua. Sayang sekali ia tak mampu membantah semua yang dikatakan oleh wanita itu.

“Anak-anak tak mau ikut saya. Sudah pernah saya membujuk Kemal dan Nayra,” keluh Arya.

“Itu karena mereka tahu kau tak pernah serius menyayangi anak-anakmu. Kemal sudah besar. Anak itu tahu siapa yang layak dia ikuti. Kalau anak-anak terus seperti itu, kau akan menua tanpa mereka.”

Lagi-lagi Arya terdiam mendengar kata-kata Mbah Ti dan lagi-lagi ia harus mengakui kebenaran kata-kata sang mantan ibu mertua. Ia memang merasa akan kehilangan kasih sayang anak-anaknya. Sudah terasa sekali jika melihat anak-anak tak antusias melihat kedatangannya. Hanya Nayra harapannya. Benarkah jika Nayra pun kelak akan seperti ketiga saudaranya yang lain? Nayra akan bertumbuh lalu setelah itu menjauhinya. Arya merasa hatinya menjadi kosong memikirkan kata-kata Mbah Ti.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

berapi-api...kerensukses selalu

04 Jul
Balas

terima kasih sudah berkunjung Bun

05 Jul

Cerita yg keren bunda... lanjutkan. Terimakasih telah berkunjung ke sriyonospd.gurusiana.id

04 Jul
Balas

Terima kasih sudah mampir pak

05 Jul

Mbah Ti dan mbah Kung, sehat slalu yaa. Tetap semangaaat ya Laras.

04 Jul
Balas

aamiin.

05 Jul

Semoga Laras mendapatkan suami yang baik....

04 Jul
Balas

aamiin allhumma aamiin. terima kasih sudah mampir

05 Jul

Yang sabar ya Arya...

03 Jul
Balas

Terima kasih bun sudah mampir

03 Jul

Keren!

04 Jul
Balas

makasih Pak sudah berkunjung

05 Jul

lebih baik sabar....salam literasi

03 Jul
Balas

Terima kasihbpak sudah mampir

03 Jul



search

New Post